Rahmat Alim, 15 tahun, tersangka kasus pembunuhan Eno Parihah, 19 tahun, karyawati pabrik plastik di Kosambi, Kabupaten Tangerang, dikenal sebagai anak yang pendiam dan tak suka ngopi.
Anak pertama dari dua bersaudara ini juga dikenal rajin beribadah dan patuh kepada orang tua. "Dia anaknya pendiam, enggak pernah mabuk, ngerokok, minum kopi juga tak pernah," ujar Marwan, 45 tahun, paman Rahmat Alim, saat ditemui di rumahnya di Desa Jati Mulya, Kosambi, Selasa, 16 Mei 2016.
Marwan adalah adik Udin, orang tua Rahmat Alim. Rumah mereka berdekatan, hanya berjarak satu rumah. Orang tua Rahmat Alim sehari hari membuka usaha warung di depan rumahnya. Dibandingkan dengan rumah penduduk yang ada di Gang Mushalla itu, rumah Rahmat Alim terlihat paling bagus dan bersih. Meski berukuran kecil, rumah bercat hitam dan bergaya minimalis itu tertata rapi dan bersih.
Sayangnya, orang tua Rahmat Alim menghilang setelah penangkapan anak sulungnya itu. Pintu rumahnya terkunci rapat. Rolling door warung juga tergembok. Menurut Marwan, keluarga Rahmat Alim mengungsi ke rumah neneknya yang jauh dari Kampung Jati Mulia.
Asiah, 40 tahun, bibi tersangka, mengatakan Rahmat Alim termasuk anak rumahan yang kegiatannya antara sekolah dan rumah. "Pergi ke sekolah pun diantar-jemput bapaknya," katanya.
Berita Perjodohan Eno Parihah Yang Pembawa Petaka
Nasib Eno Parihah mungkin tak akan setragis ini andaikan dia tidak memberi tahu kekasihnya yang masih remaja jika dia dijodohkan dengan pria lain.
Kekasihnya, Rahmat Alim yang masih duduk di bangku SMP tidak terima gadis berusia 18 tahun itu jatuh ke tangan pria lain.
Setelah mendengar kabar perjodohan itu, Rahmat Alim menghubungi Eno Parihah melalui pesan singkat dan meminta bertemu untuk memeluk dan menciumnya.
"Karena itu saat Rahmat Alim datang ke mess, korban membukakan pintu untuknya. Rahmat Alim juga sempat minta untuk berhubungan badan, tapi ditolak oleh korban," kata Kasat Reskrim Polres Metro Tangerang Ajun Komisaris Besar Sutarmo saat ditemui di ruang kerjanya, di Markas Polres Metro Tangerang Kota, Senin 16 Mei 2016.
Rahmat Alim yang masih berusia 15 tahun itu marah. Sekonyong-konyong dia meninggalkan mess tempat Eno tinggal.
Awal Kasus Pembunuhan Eno
Saat di perjalanan pulang, Rahmat Alim bertemu RAH dan MA. Keduanya mengajak Rahmat Alim untuk membunuh korban.
"Dia enggak bakal jadi pacar kamu lagi kok," kata Sutarmo menirukan ucapan tersangka.
Kemudian ketiganya bersama-sama masuk ke kamar mess korban dan melakukan pembunuhan.
RAH, tersangka yang berstatus siswa SMP itulah yang memegang cangkul. Alat pertanian itu dia dapat dari pojok luar mess yang biasa digunakan untuk renovasi.
"Itu pesan pelaku yang kita dapat dari hasil pra rekonstruksi ketiga kali dan olah TKP empat kali," kata Sutarmo.
Jasad buruh pabrik plastik di Tangerang itu ditemukan dalam kondisi mengerikan di messnya.
Jasad Eno ditemukan dalam kondisi bugil dan terdapat gagang cangkul menancap di bagian tubuh yang diduga sengaja dilakukan pelaku.
Untuk penyebab pasti kematian korban, Sutarmo mengaku belum memastikan apakah disebabkan oleh tindakan kekerasan dengan gagang cangkul tersebut atau hal lain. "Kita masih menunggu hasil visum," kata Sutarmo.
Jasad Eno ditemukan warga dalam kondisi mengenaskan di kamar kontrakan di Kosambi, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Jumat 13 Mei lalu.
Tangisan Pedih Mahpudoh
Nasib naas yang menimpa Eno Parihah meninggalkan luka mendalam bagi ibundanya, Mahpudoh. Wanita berkerudung itu tidak bisa membendung air matanya saat melihat kondisi putrinya yang sudah meninggal.
Mahpudoh terus saja menangis selama di rumah sakit. Dia lalu mengatakan, semasa hidup putrinya dikenal sebagai anak yang baik dan pendiam.
"Ya Allah baik banget, pendiam begini, mana ada musuhnya. Kok teganya orang," kata dia sambil terisak, Tangerang, Jumat 13 Mei 2016.
Sebelum ditemukan meninggal atau pada libur panjang kemarin, Eno sempat pulang ke rumah di Kampung Bangkir, Kelurahan Pegandikan, Lebak Wangi, Kabupaten Serang, Banten.
"Dia pulang dan sempat nanya, ibu mau apa? Saya bilang enggak mau apa-apa, duitnya buat kamu beli baju bagus saja," kenang Mahpudoh.
Eno yang merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara ini, memang kerap membawa buah tangan untuk keluarganya setiap pulang ke rumah.
"Dia pulang seminggu sekali. Suka bawa makanan, kue, permen buat adiknya. Padahal gajinya kecil, jadi suka saya suruh nabung saja," kata Mahpudoh.
Gadis setinggi 170 sentimeter ini memang ingin bekerja setelah lulus SMK lantaran tidak betah jika menganggur di rumah.
Mahpudoh pun mengizinkan anak gadisnya bekerja di Polyta Global Mandiri, karena banyak teman-teman sekampungnya bekerja di perusahaan ini.
"Sebenarnya dia disuruh kuliah, tapi penginnya kerja. Karena di sini banyak barengan teman-temannya, saya izinkan. Dia baru kerja enam bulan di sana," kata dia.
Mahpudoh tidak menyangka putrinya meninggal dengan cara mengenaskan. Dia baru tahu kabar itu dari teman anaknya pada Jumat pagi, sekitar pukul 09.00 WIB.
"Saya kira kecelakaan, ternyata dibunuh. Rasanya kayak kiamat, sedih sekali. Tega banget pelaku melakukan itu sama anak saya," tutur dia.
Anak pertama dari dua bersaudara ini juga dikenal rajin beribadah dan patuh kepada orang tua. "Dia anaknya pendiam, enggak pernah mabuk, ngerokok, minum kopi juga tak pernah," ujar Marwan, 45 tahun, paman Rahmat Alim, saat ditemui di rumahnya di Desa Jati Mulya, Kosambi, Selasa, 16 Mei 2016.
Marwan adalah adik Udin, orang tua Rahmat Alim. Rumah mereka berdekatan, hanya berjarak satu rumah. Orang tua Rahmat Alim sehari hari membuka usaha warung di depan rumahnya. Dibandingkan dengan rumah penduduk yang ada di Gang Mushalla itu, rumah Rahmat Alim terlihat paling bagus dan bersih. Meski berukuran kecil, rumah bercat hitam dan bergaya minimalis itu tertata rapi dan bersih.
Sayangnya, orang tua Rahmat Alim menghilang setelah penangkapan anak sulungnya itu. Pintu rumahnya terkunci rapat. Rolling door warung juga tergembok. Menurut Marwan, keluarga Rahmat Alim mengungsi ke rumah neneknya yang jauh dari Kampung Jati Mulia.
Asiah, 40 tahun, bibi tersangka, mengatakan Rahmat Alim termasuk anak rumahan yang kegiatannya antara sekolah dan rumah. "Pergi ke sekolah pun diantar-jemput bapaknya," katanya.
Berita Perjodohan Eno Parihah Yang Pembawa Petaka
Nasib Eno Parihah mungkin tak akan setragis ini andaikan dia tidak memberi tahu kekasihnya yang masih remaja jika dia dijodohkan dengan pria lain.
Kekasihnya, Rahmat Alim yang masih duduk di bangku SMP tidak terima gadis berusia 18 tahun itu jatuh ke tangan pria lain.
Setelah mendengar kabar perjodohan itu, Rahmat Alim menghubungi Eno Parihah melalui pesan singkat dan meminta bertemu untuk memeluk dan menciumnya.
"Karena itu saat Rahmat Alim datang ke mess, korban membukakan pintu untuknya. Rahmat Alim juga sempat minta untuk berhubungan badan, tapi ditolak oleh korban," kata Kasat Reskrim Polres Metro Tangerang Ajun Komisaris Besar Sutarmo saat ditemui di ruang kerjanya, di Markas Polres Metro Tangerang Kota, Senin 16 Mei 2016.
Rahmat Alim yang masih berusia 15 tahun itu marah. Sekonyong-konyong dia meninggalkan mess tempat Eno tinggal.
Awal Kasus Pembunuhan Eno
Saat di perjalanan pulang, Rahmat Alim bertemu RAH dan MA. Keduanya mengajak Rahmat Alim untuk membunuh korban.
"Dia enggak bakal jadi pacar kamu lagi kok," kata Sutarmo menirukan ucapan tersangka.
Kemudian ketiganya bersama-sama masuk ke kamar mess korban dan melakukan pembunuhan.
RAH, tersangka yang berstatus siswa SMP itulah yang memegang cangkul. Alat pertanian itu dia dapat dari pojok luar mess yang biasa digunakan untuk renovasi.
"Itu pesan pelaku yang kita dapat dari hasil pra rekonstruksi ketiga kali dan olah TKP empat kali," kata Sutarmo.
Jasad buruh pabrik plastik di Tangerang itu ditemukan dalam kondisi mengerikan di messnya.
Jasad Eno ditemukan dalam kondisi bugil dan terdapat gagang cangkul menancap di bagian tubuh yang diduga sengaja dilakukan pelaku.
Untuk penyebab pasti kematian korban, Sutarmo mengaku belum memastikan apakah disebabkan oleh tindakan kekerasan dengan gagang cangkul tersebut atau hal lain. "Kita masih menunggu hasil visum," kata Sutarmo.
Jasad Eno ditemukan warga dalam kondisi mengenaskan di kamar kontrakan di Kosambi, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Jumat 13 Mei lalu.
Tangisan Pedih Mahpudoh
Nasib naas yang menimpa Eno Parihah meninggalkan luka mendalam bagi ibundanya, Mahpudoh. Wanita berkerudung itu tidak bisa membendung air matanya saat melihat kondisi putrinya yang sudah meninggal.
Mahpudoh terus saja menangis selama di rumah sakit. Dia lalu mengatakan, semasa hidup putrinya dikenal sebagai anak yang baik dan pendiam.
Foto Eno Parihah |
"Ya Allah baik banget, pendiam begini, mana ada musuhnya. Kok teganya orang," kata dia sambil terisak, Tangerang, Jumat 13 Mei 2016.
Sebelum ditemukan meninggal atau pada libur panjang kemarin, Eno sempat pulang ke rumah di Kampung Bangkir, Kelurahan Pegandikan, Lebak Wangi, Kabupaten Serang, Banten.
"Dia pulang dan sempat nanya, ibu mau apa? Saya bilang enggak mau apa-apa, duitnya buat kamu beli baju bagus saja," kenang Mahpudoh.
Eno yang merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara ini, memang kerap membawa buah tangan untuk keluarganya setiap pulang ke rumah.
"Dia pulang seminggu sekali. Suka bawa makanan, kue, permen buat adiknya. Padahal gajinya kecil, jadi suka saya suruh nabung saja," kata Mahpudoh.
Gadis setinggi 170 sentimeter ini memang ingin bekerja setelah lulus SMK lantaran tidak betah jika menganggur di rumah.
Mahpudoh pun mengizinkan anak gadisnya bekerja di Polyta Global Mandiri, karena banyak teman-teman sekampungnya bekerja di perusahaan ini.
"Sebenarnya dia disuruh kuliah, tapi penginnya kerja. Karena di sini banyak barengan teman-temannya, saya izinkan. Dia baru kerja enam bulan di sana," kata dia.
Mahpudoh tidak menyangka putrinya meninggal dengan cara mengenaskan. Dia baru tahu kabar itu dari teman anaknya pada Jumat pagi, sekitar pukul 09.00 WIB.
"Saya kira kecelakaan, ternyata dibunuh. Rasanya kayak kiamat, sedih sekali. Tega banget pelaku melakukan itu sama anak saya," tutur dia.